Sabtu, 21 Januari 2012

Kemiskinan

Indonesia merupakan salah satu negara yang terbilang cukup lamban dalam membenahi kasus kemiskinan. Persentase angka kemiskinan mencapai 30,02 juta orang atau sekitar 12,49 persen dari total penduduk Indonesia.
BPS mencatat, pada bulan Maret 2011, mereka dikatakan miskin karena dalam sebulan pengeluaran mereka tidak lebih dari Rp 233.740, dengan pengeluaran yang sangat minim dan kurang dari standarisasi nominal tersebut. Dapat dibayangkan betapa sulitnya kondisi perekonomian mereka sehari-hari.
Setelah beberapa hari yang lalu negeri ini mencapai usianya yang ke 66 tahun, namun kenyataanya usia yang relatif sudah tua tersebut belum mampu menuntun negeri ini keluar dari belenggu kemiskinan. Jumlah mereka tidak sedikit, dan hal demikian akan terus terpupuk dalam siklus negeri premature yang tak pernah terputus.

Minggu, 04 September 2011

Idulfitri, Momentum Harmonisasi Umat

Islam selalu mengajak pada keharmonisan umat. Salat yang menjadi pondasi ibadah, diperintahkan untuk dilakukan berjamaah. Hal ini dimaksudkan agar umat Islam saling mengenal satu sama lain dan terbangun kebersamaan untuk mencapai satu titik yaitu persatuan dan kesatuan umat.

Baru saja umat Muslim di seluruh dunia merayakan Idulfitri sebagai momen yang sangat berharga dan patut disyukuri. Momen ini menjadi sarana pelimpahan rasa syukur, kasih sayang, saling memaafkan, berkumpul bersama sanak saudara dan membuka pintu ikhlas untuk saling memberi kepada yang kekurangan.
Rasa syukur yang tidak bisa terbayarkan dengan kelimpahan materi duniawi, yakni kembali menjadi fitrah ditengah jejak-jejak yang penuh dosa. Dosa kepada Allah, kedua orangtua, kepada sesama manusia, dan dosa kepada diri sendiri yang telah khilaf berpoleskan keburukan.
Memaknai Idulfitri hingga meneteskan air mata sekalipun sebagai bukti rasa syukur karena telah berhasil menempuh perjalanan dan tantangan melawan hawa nafsu menuju satu titik yaitu kemenangan. Idulfitri secara harfiah adalah kembali ke fitrah, yakni kesucian sebagaimana digambarkan dalam salah satu hadist Nabi.
"Barang siapa yang melaksanakan ibadah puasa Ramadan dengan iman dan mengharap ridha Allah SWT, maka diampunkan segala dosanya yang telah lalu, sehingga ia menjadi orang sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya". Bersih dari noda dan dosa seperti kertas putih kosong yang belum tercoret oleh tinta.
Apa makna di balik fitrah itu? Yah, tentu saja menjadi momentum yang paling tepat untuk mengintropeksi dan merenungkan perbuatan masa lalu yang berwujud peningkatan kualitas pada pribadi setiap muslim. Fitrah bagi diri sendiri dan bermakna bagi lingkungan sosialnya.
Optimisme Idulfitri 1432 H adalah bagaimana seluruh umat bersatu, hidup harmonis dalam keberagaman, memiliki tekad yang kuat untuk maju dan terlepas dari bingkai ketertinggalan. Di tengah pergulatan perbedaan yang kian menonjol, kasus terorisme yang pernah merebak drastis di negeri ini dan sikap saling menghargai antar umat manusia yang semakin terkikis perlu menjadi renungan.
Sepertinya kita perlu merefleksi makna di balik perpecahan yang melanda dunia Islam dan keutuhan bangsa ini sendiri. Kesemunya itu membutuhkan tuntunan dan kerendahan hati setiap umat untuk membangun komitmen yang dapat mepersatukan seluruh umat di dunia dalam satu bingkai yang harmonis, saling menghargai dan menyayangi.


Cinta Damai
Persatuan dan harmonisai umat adalah satu sasaran akhir yang hendak dicapai dalam Islam. Semua ibadah, sasaran akhirnya adalah persatuan dan kesatuan umat. Sejak dulu telah diketahui bahwa lewat kebersamaan, banyak sekali pekerjaan yang bisa terselesaikan dengan baik.
Sejarah menunjukkan, berbagai peradaban yang besar hanya bisa tercipta lewat kebersamaan para anggota masyarakatnya. Ketika kebersamaan itu luntur, pada saat itu pula peradaban tersebut mulai kehilangan eksistensi dan akhirnya lenyap.
Perpecahan antarumat Islam di abad ini memang semakin menampakkan ketajaman yang kian menjadi lumrah. Alasan perbedaan pemahaman dijadikan garis pembatas yang tegas antar golongan. Perbedaan di bidang politik, sosial dan ekonomi telah merombak peradaban masa lalu.
Jikalau kita berkaca kisah orang shalih terdahulu betapa perbedaan, selama bukan masalah aqidah, tidak lantas melunturkan persaudaraan atau bahkan meramu perpecahan. (Majmu Al-Fatawa: 20/364-366).
Memanasnya perselisihan menjadi pupuk perpecahan yang terus tumbuh subur di tengah umat islam. Ada beberapa hal yang melatar belakangi seperti yang dipaparkan Nashir, di antaranya siasat kaum kafir dengan memasukan ideologi sesat, kebodohan melanda umat Muslim, kerancuan memahami metodologi agama, kurang mengerti kaidah-kaidah dalam berbeda pendapat, melakukan serta menganggap remeh bid'ah dalam agama, propaganda pembaharuan Islam, sikap ekstrim serta fanatik golongan, meninggalkan amar ma'ruf nahi munkar.
Sedangkan Syaikh Shaleh Fauzan memberikan nasihat tentang wasilah menuju persatuan umat, di antaranya meluruskan aqidah, mendengar dan taat kepada pemimpin dalam ketaatan kepada Allah, kembali pada Al Quran dan al-Sunnah untuk mengatasi perselisihan, mendamaikan dua golongan yang bertikai, memerangi orang atau kelompok yang ingin memecah-belah kaum muslimin.
Dan memang, salah satu faktor terbesar dari perselisihan itu adalah fenomena amnesia umat muslim terhadap pedoman hidup yang telah diwariskan Rasulullah Muhammad saw yaitu Al Quran dan al-Sunnah.
Dalam ayat Al Quran dinyatakan bahwa "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." (Q.S. AliImran [4]: 103).
Pada dasarnya islam adalah agama yang mencintai perdamaian. Media yang cenderung menggambarkan citra islam sebagai teroris dan hukum Islam dilecehkan adalah berita yang sangat melebih-lebihkan, tidak ada ajaran yang menuntun pada perpecahan, pada umumnya Islam selalu menuntun pada persatuan dan harmonisasi umat, hanya saja ribuan pemikiran, jutaan pendapat menimbulkan pemahaman dan implementasi yang berbeda-beda.
Islam selalu mengajak pada keharmonisan umat. Salat yang menjadi pondasi ibadah, diperintahkan untuk dilakukan berjamaah. Hal ini dimaksudkan agar umat Islam saling mengenal satu sama lain dan terbangun kebersamaan untuk mencapai satu titik yaitu persatuan dan kesatuan umat.


Simbiosis Mutualisme
Pelaksanaan ibadah puasa Ramadan yang diwajibkan pada tiap individu Muslim, salah satu hikmahnya adalah agar umat Islam yang berkecukupan dapat merasakan penderitaan para fakir miskin yang kesulitan mencari sesuap nasi. Perasaan lapar inilah yang harus dirasakan orang kaya yang berpuasa. Dengan demikian diharapkan, si kaya akan memberi belas kasihan, zakat dan sedekah pada orang miskin. Sehingga terjalin hubungan yang harmonis dan simbiosis mutualisme antara si kaya dengan si miskin.
Ibadah haji yang diwajibkan pada umat Islam sekali seumur hidup, juga mempunyai tujuan yang sama yaitu lahirnya harmonisasi umat. Jamaah haji yang adalah perwakilan umat Islam di seluruh dunia yang berkumpul menjadi satu.
Jadi Islam adalah agama mulia yang selalu menuntun pada kehidupan social yang saling menghargai dan menyayangi. Apabila kita ingin menjadi bangsa dan umat yang maju, maka kita sebagai umat muslim perlu bersatu dan hidup harmonis dalam keberagaman. Citra teroris kini perlu dihapus secara perlahan-lahan melalui partisipasi umat muslim dalam menciptakan perdamaian dunia.
Hidup harmonis adalah petunjuk menuju bangsa yang maju. Mengapa Islam selalu kalah dipercaturan internasional karena kita bukan sebatas tertinggal dari Iptek, namun persatuan seluruh umat islam di dunia semakin rapuh, perselisihan terjadi dimana-mana. Dinamika ini menampakkan bahwa umat kita telah jauh melenceng dari perintah Al Quran dan Assunah.
Sehingga melalu kesempatan yang fitrah ini, saatnya kita sebagai umat Islam dalam satu kesatuan perlu kembali memperkuat hubungan harmonis umat dan mensyukuri momen idul fitri sebagai momen pengendali hawa nafsu dalam perbedaan.***


Oleh: Indah Arnaelis
Mahasiswa Jurusan ICP Biologi/FMIPA UNM

Kamis, 01 September 2011

Sembako Gratis, Potret Kemiskinan yang Menggurita

Tribun Timur - Jumat, 26 Agustus 2011 19:56 WITA

Wajah kemiskinan rakyat Indonesia semakin tampak ketika momen Ramadan dan mendekati momen lebaran tiba. Sebagaimana kasus-kasus yang mewarnai berita di media, cenderung menggambarkan ribuan rakyat Indonesia yang berlomba-lomba datang untuk meminta bantuan dan belas kasihan dari si kaya.

Indonesia merupakan salah satu negara yang terbilang cukup lamban dalam membenahi kasus kemiskinan. Persentase angka kemiskinan mencapai 30,02 juta orang atau sekitar 12,49 persen dari total penduduk Indonesia.

BPS mencatat, pada bulan Maret 2011, mereka dikatakan miskin karena dalam sebulan pengeluaran mereka tidak lebih dari Rp 233.740, dengan pengeluaran yang sangat minim dan kurang dari standarisasi nominal tersebut. Dapat dibayangkan betapa sulitnya kondisi perekonomian mereka sehari-hari.
Setelah beberapa hari yang lalu negeri ini mencapai usianya yang ke 66 tahun, namun kenyataanya usia yang relatif sudah tua tersebut belum mampu menuntun negeri ini keluar dari belenggu kemiskinan. Jumlah mereka tidak sedikit, dan hal demikian akan terus terpupuk dalam siklus negeri premature yang tak pernah terputus.
Kemiskinan terus menjadi cerita klasik yang berputar-putar pada satu titik tanpa ada upaya yang betul-betul jitu untuk membawa rakyat Indonesia keluar dari sangkar kemiskinan. Negeri ini masih sangat kental dengan identitas miskin yang cenderung menuntun kita tetap bermain pada ranah ketertinggalan dibanding bangsa-bangsa lainnya yang telah jauh melambaikan tangannya pada taraf hidup yang lebih makmur dan sejahtera.
Penyelesaian kemiskinan di negeri ini hanya cenderung dilaporkan dengan data-data statistik yang tidak menggali secara mendalam makna di balik kemiskinan yang melanda rakyat Indonesia. Ataupun turut melepaskan sejenak jas dan dasi untuk menengok ke bawah fenomena derita mencari sesuap nasi yang dirasakan oleh ribuan rakyat Indonesia.
Bagaimana menuntun mereka keluar dari kemiskinan itu sendiri, itu yang perlu digali, bukan semata laporan statistik yang memperlihatkan angka-angka yang hanya menjadi berita buruk bahwa kemiskinan terus meningkat setiap tahun.
Apa penyebab kemiskinan itu sendiri? Apakah karena mekanisme pemerintahan kita yang cenderung amburadul hingga berdampak sangat besar dalam membangun perekonomian rakyat Indonesia? Ataukah mental bangsa kita memang sudah tertanam jiwa-jiwa pasrah dan merasa dirinya memanglah orang miskin dari sononya?
Potret kemiskinan di negeri ini sudah menjadi gambaran secara morfologis yang tidak bisa dielak, kemiskinan telah terpupuk subur di tanah air kita Indonesia. Ketika kita berjalan melewati setiap sudut kota di negeri ini, tidak sedikit kader-kader pengemis yang terus memupuk kebiasaannya meminta belas kasihan dari orang lain, mulai dari anak-anak hingga orang tua, orang cacat, orang yang berpura-pura cacat hingga orang yang sempurna sekalipun.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis mengenai motif anak turun ke jalan di kota Makassar, tampak adanya gambaran bahwa habitat menjadi pengemis di pinggir jalan sudah mereka nikmati sejak kecil. Bahkan, terdapat informen yang mulai dari beberapa turunan kakek nenek sebelumnya, ayah dan ibunya bahkan dia sendiri telah menikmati dunia ciliknya menjadi pengemis. Sebuah pekerjaan yang tidak perlu mengeluarkan energi yang terlalu besar, namun bisa mendapatkan uang untuk makan.

Pengemis Menjamur


Karakter bangsa yang sangat sulit diubah, meski pemerintah sekalipun mengeluarkan larangan yang melarang mereka turun ke jalan, namun tidak ada pekerjaan dan pendapatan yang bisa membalas pendapatan mereka setiap harinya. Ya, pemerintah tidak mampu membiayai mereka dengan biaya yang setimpal jika dibandingkan dengan pekerjaan mereka turun ke jalan mengemis.
Budaya memberi dan belas kasihan dari si kayapun tidak bisa dihindari, sehingga jalanan menjadi surga bagi mereka yang menerima belas kasihan dari orang-orang yang prihatin. Momen Ramadan hingga lebaran tampak menjadi momen yang paling tepat untuk mengeluarkan zakat dan sedakah untuk diberikan kepada sanak saudara kita yang dianggap miskin dan kurang beruntung itu.
Bantuan dari orang kaya memang sangat berarti, terlebih untuk memenuhi kebutuhan mereka menjelang lebaran. Pendapatan mereka yang hanya cukup untuk makan, jelas tidak mampu membiayai kebutuhan anak-anaknya yang juga ingin mengenakan baju baru dan embel-embel lebaran lainnya. Terlebih tradisi harga sembako dan kebutuhan lainnya yang cenderung meningkat jika menjelang lebaran dan bulan puasa.
Entah apa maksud pemerintah meningkatkan harga kebutuhan pokok di momen-momen tersebut, padahal itulah saatnya rakyat sangat membutuhkan, akhirnya yang miskin semakin kesulitan dalam menjangkau harga kebutuhan pokok yang semakin mahal. Fenomena pembagian sembako gratispun menjadi berita panas yang membuka kedok mental SDM Indonesia yang masih dibelenggu oleh kemiskinan.
Wajah kemiskinan rakyat Indonesia semakin tampak ketika momen Ramadan dan mendekati momen lebaran tiba. Sebagaimana kasus-kasus yang mewarnai berita di media, cenderung menggambarkan ribuan rakyat Indonesia yang berlomba-lomba datang untuk meminta bantuan dan belas kasihan dari si kaya. Si kaya cuma satu orang. Namun si miskinnya mencapai ribuan orang.

Cerita Klasik
Hampir setiap tahun saat bulan puasa dan menjelang lebaran diwarnai dengan adanya pembagian zakat serupa dan bahkan sampai jatuh korban jiwa karena saling berdesakan dan saling mendorong. Sangat menyayangkan sampai adanya warga yang meninggal dunia sebelum menikmati hasil bahkan masih dalam keadaan mengantri dan harus meregang nyawa karena kehabisan nafas.
Hanya kondisi kemiskanan yang sudah sedemikian parahlah yang mendorong mereka nekat untuk berdesak-desakkan seperti itu, meskipun dengan resiko bakal mati dan terinjak-injak. Sampai kapankkah kondisi ini terus berlanjut?
Inilah potret cerita klasik negeri ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa kemiskinan masih sangat terasa dan transparan. Pemerintah janganlah bangga melaporkan perkembangan ekonomi negeri ini, buktinya masih banyak rakyat miskin yang pendapatan perharinya sangat tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Dalam pidato dikatakan bahwa persentase angka kemiskinan yang katanya terus menurun hanyalah cerita belaka, realisnya hanya sebatas catatan buram di atas kertas putih. Kesenjangan sosial masih sangatlah tinggi di negeri ini. Yang kaya makin kaya dan yang miskin semakin tak berdaya. Rakyat kecil terus tertindas.
Saatnya gerakan nyata dari pihak pemerintah menuai bukti yang realistis, rakyat butuh tuntunan menuju masyarakat yang mandiri. Kemiskinan memang merupakan masalah kompleks yang tidak mudah diatasi. Namun, dengan pendekatan yang tepat, kemiskinan akan lebih mudah didekati. Penanggulangan kemiskinan memerlukan pemahaman mengenai dimensi dan pengukuran kemiskinan yang operasional.
Setelah kemiskinan dapat dipotret secara akurat, strategi antikemiskinan dapat dikembangkan. Strategi tersebut sebaiknya menyentuh pendekatan langsung dan tidak langsung, skala kecil maupun skala besar, yang dilakukan secara simultan dan berkelanjutan. Semoga sangkar kemiskinan hari ini hanyalah penjara sementara yang tidak permanen, namun sewaktu-waktu dapat terbuka menuju rakyat Indonesia yang sejahtera jika ada manajemen yang sistematis dan serius dari pemerintah.***

Oleh : Indah Arnaelis
Mahasiswi ICP Biologi/MIPA Universitas Negeri Makassar

Selasa, 16 Agustus 2011

MERAJUT BINGKAI EMAS PENDIDIKAN SI MISKIN


Katanya Pendidikan Gratis,
Katanya Sekolah Gratis,
Katanya Program Wajib Belajar 9 Tahun
Kok……masih banyak generasi bangsa
 yang berkeliaran di jalan saat waktu sekolah?
Parahnya anak-anak negeri ini dominan yang menjadi pengemis
ketimbang menjadi pelajar