Islam selalu mengajak pada keharmonisan umat. Salat yang menjadi pondasi ibadah, diperintahkan untuk dilakukan berjamaah. Hal ini dimaksudkan agar umat Islam saling mengenal satu sama lain dan terbangun kebersamaan untuk mencapai satu titik yaitu persatuan dan kesatuan umat.
Baru saja umat Muslim di seluruh dunia merayakan Idulfitri sebagai momen yang sangat berharga dan patut disyukuri. Momen ini menjadi sarana pelimpahan rasa syukur, kasih sayang, saling memaafkan, berkumpul bersama sanak saudara dan membuka pintu ikhlas untuk saling memberi kepada yang kekurangan.
Rasa syukur yang tidak bisa terbayarkan dengan kelimpahan materi duniawi, yakni kembali menjadi fitrah ditengah jejak-jejak yang penuh dosa. Dosa kepada Allah, kedua orangtua, kepada sesama manusia, dan dosa kepada diri sendiri yang telah khilaf berpoleskan keburukan.
Memaknai Idulfitri hingga meneteskan air mata sekalipun sebagai bukti rasa syukur karena telah berhasil menempuh perjalanan dan tantangan melawan hawa nafsu menuju satu titik yaitu kemenangan. Idulfitri secara harfiah adalah kembali ke fitrah, yakni kesucian sebagaimana digambarkan dalam salah satu hadist Nabi.
"Barang siapa yang melaksanakan ibadah puasa Ramadan dengan iman dan mengharap ridha Allah SWT, maka diampunkan segala dosanya yang telah lalu, sehingga ia menjadi orang sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya". Bersih dari noda dan dosa seperti kertas putih kosong yang belum tercoret oleh tinta.
Apa makna di balik fitrah itu? Yah, tentu saja menjadi momentum yang paling tepat untuk mengintropeksi dan merenungkan perbuatan masa lalu yang berwujud peningkatan kualitas pada pribadi setiap muslim. Fitrah bagi diri sendiri dan bermakna bagi lingkungan sosialnya.
Optimisme Idulfitri 1432 H adalah bagaimana seluruh umat bersatu, hidup harmonis dalam keberagaman, memiliki tekad yang kuat untuk maju dan terlepas dari bingkai ketertinggalan. Di tengah pergulatan perbedaan yang kian menonjol, kasus terorisme yang pernah merebak drastis di negeri ini dan sikap saling menghargai antar umat manusia yang semakin terkikis perlu menjadi renungan.
Sepertinya kita perlu merefleksi makna di balik perpecahan yang melanda dunia Islam dan keutuhan bangsa ini sendiri. Kesemunya itu membutuhkan tuntunan dan kerendahan hati setiap umat untuk membangun komitmen yang dapat mepersatukan seluruh umat di dunia dalam satu bingkai yang harmonis, saling menghargai dan menyayangi.
Cinta Damai
Persatuan dan harmonisai umat adalah satu sasaran akhir yang hendak dicapai dalam Islam. Semua ibadah, sasaran akhirnya adalah persatuan dan kesatuan umat. Sejak dulu telah diketahui bahwa lewat kebersamaan, banyak sekali pekerjaan yang bisa terselesaikan dengan baik.
Sejarah menunjukkan, berbagai peradaban yang besar hanya bisa tercipta lewat kebersamaan para anggota masyarakatnya. Ketika kebersamaan itu luntur, pada saat itu pula peradaban tersebut mulai kehilangan eksistensi dan akhirnya lenyap.
Perpecahan antarumat Islam di abad ini memang semakin menampakkan ketajaman yang kian menjadi lumrah. Alasan perbedaan pemahaman dijadikan garis pembatas yang tegas antar golongan. Perbedaan di bidang politik, sosial dan ekonomi telah merombak peradaban masa lalu.
Jikalau kita berkaca kisah orang shalih terdahulu betapa perbedaan, selama bukan masalah aqidah, tidak lantas melunturkan persaudaraan atau bahkan meramu perpecahan. (Majmu Al-Fatawa: 20/364-366).
Memanasnya perselisihan menjadi pupuk perpecahan yang terus tumbuh subur di tengah umat islam. Ada beberapa hal yang melatar belakangi seperti yang dipaparkan Nashir, di antaranya siasat kaum kafir dengan memasukan ideologi sesat, kebodohan melanda umat Muslim, kerancuan memahami metodologi agama, kurang mengerti kaidah-kaidah dalam berbeda pendapat, melakukan serta menganggap remeh bid'ah dalam agama, propaganda pembaharuan Islam, sikap ekstrim serta fanatik golongan, meninggalkan amar ma'ruf nahi munkar.
Sedangkan Syaikh Shaleh Fauzan memberikan nasihat tentang wasilah menuju persatuan umat, di antaranya meluruskan aqidah, mendengar dan taat kepada pemimpin dalam ketaatan kepada Allah, kembali pada Al Quran dan al-Sunnah untuk mengatasi perselisihan, mendamaikan dua golongan yang bertikai, memerangi orang atau kelompok yang ingin memecah-belah kaum muslimin.
Dan memang, salah satu faktor terbesar dari perselisihan itu adalah fenomena amnesia umat muslim terhadap pedoman hidup yang telah diwariskan Rasulullah Muhammad saw yaitu Al Quran dan al-Sunnah.
Dalam ayat Al Quran dinyatakan bahwa "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." (Q.S. AliImran [4]: 103).
Pada dasarnya islam adalah agama yang mencintai perdamaian. Media yang cenderung menggambarkan citra islam sebagai teroris dan hukum Islam dilecehkan adalah berita yang sangat melebih-lebihkan, tidak ada ajaran yang menuntun pada perpecahan, pada umumnya Islam selalu menuntun pada persatuan dan harmonisasi umat, hanya saja ribuan pemikiran, jutaan pendapat menimbulkan pemahaman dan implementasi yang berbeda-beda.
Islam selalu mengajak pada keharmonisan umat. Salat yang menjadi pondasi ibadah, diperintahkan untuk dilakukan berjamaah. Hal ini dimaksudkan agar umat Islam saling mengenal satu sama lain dan terbangun kebersamaan untuk mencapai satu titik yaitu persatuan dan kesatuan umat.
Simbiosis Mutualisme
Pelaksanaan ibadah puasa Ramadan yang diwajibkan pada tiap individu Muslim, salah satu hikmahnya adalah agar umat Islam yang berkecukupan dapat merasakan penderitaan para fakir miskin yang kesulitan mencari sesuap nasi. Perasaan lapar inilah yang harus dirasakan orang kaya yang berpuasa. Dengan demikian diharapkan, si kaya akan memberi belas kasihan, zakat dan sedekah pada orang miskin. Sehingga terjalin hubungan yang harmonis dan simbiosis mutualisme antara si kaya dengan si miskin.
Ibadah haji yang diwajibkan pada umat Islam sekali seumur hidup, juga mempunyai tujuan yang sama yaitu lahirnya harmonisasi umat. Jamaah haji yang adalah perwakilan umat Islam di seluruh dunia yang berkumpul menjadi satu.
Jadi Islam adalah agama mulia yang selalu menuntun pada kehidupan social yang saling menghargai dan menyayangi. Apabila kita ingin menjadi bangsa dan umat yang maju, maka kita sebagai umat muslim perlu bersatu dan hidup harmonis dalam keberagaman. Citra teroris kini perlu dihapus secara perlahan-lahan melalui partisipasi umat muslim dalam menciptakan perdamaian dunia.
Hidup harmonis adalah petunjuk menuju bangsa yang maju. Mengapa Islam selalu kalah dipercaturan internasional karena kita bukan sebatas tertinggal dari Iptek, namun persatuan seluruh umat islam di dunia semakin rapuh, perselisihan terjadi dimana-mana. Dinamika ini menampakkan bahwa umat kita telah jauh melenceng dari perintah Al Quran dan Assunah.
Sehingga melalu kesempatan yang fitrah ini, saatnya kita sebagai umat Islam dalam satu kesatuan perlu kembali memperkuat hubungan harmonis umat dan mensyukuri momen idul fitri sebagai momen pengendali hawa nafsu dalam perbedaan.***
Oleh: Indah Arnaelis
Mahasiswa Jurusan ICP Biologi/FMIPA UNM